Kami poetra-poetri Indonesia mengakoe bertumpah darah jang satoe,tanah air Indonesia...
Kami poetra-poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia...
Kami poetra-poetri Indonesia menjoengjoeng tinggi bahasa persatuan,bahasa Indonesia..

Kiranya berlalu delapan puluh tahun lebih tiga kalimat itu terucap dari lisan-lisan pemuda-pemuda Indonesia kala itu. Selama itu pula para pemuda mengulang-ulang kembali tiga mantra sakti tersebut. Satu harapan mereka, berharap untuk menyentakkan kesadaran pemuda kembali. Mengikat rasa-rasa mereka lagi.

Sekarang 3 kalimat itu kini seakan hanya menjadi sebuah memoriam, tiap tahunnya diharapkan menghasilkan efek ajaib. Tiap tahun diakan peringatan Hari Sumpah Pemuda. Diikuti ribuan pemuda dan diadakan hampir merata di setiap daerah-daerah di pelosok Indonesia. Semakin banyak peserta, semakin banyak daerah yang ikut serta, semakin rusak pula kondisi bangsa. Meski hampir putus pita suara meneriakkannya ternyata 3 kalimat itu tak jua memunculkan efek ajaibnya.

Bila kalimat itu yang diharapkan bisa membangkitkan semangat, susunan kata-kata tersebut kuranglah berani berkesan jika dibandingkan dengan Sumpah Palapa sang Patih Gajah Mada. Jiki kita inginkan kritik pemilihan kata, akan lebih menggigit jika kata mengakoe diubah menjadi meyakini, kata menjoenjoeng layaknya diubah menjadi memperjoeangkan. Barulah terasa kobaran semangat darinya.

Tapi pada dasarnya inti dari susunan kata-kata itu bukanlah pada konteksnya. Kata-kata hanyalah sebagai simbol yang memudahkan untuk mengingatnya. Pun, 3 kalimat tadi tak jua mengandung efek gaib. 3 kalimat tadi bukanlah mantra sihir laiknya "Hocus Pocus" atau "Avadaa Kedavra".

Yang dibutuhkan untuk meraih spirit yang sama adalah menjiwai dan menyadari makna 3 kalimat di ataslah . Bukan hanya meratap dan meneriakkannya kembali.

Miris menyaksikan kenyataan yang ada. Pemuda-pemuda masa kini yang hadir dan bersumpah kembali menggunakan tesk yang sama, kesehariannya amat kontradiktif dengan cita-cita luhur yang diucapkannya. Paginya mereka berkoar di tengah riuhnya demonstrasi. Malamnya asik ajonjing di tengah dentuman music house. Keras memprotes pemerintah, tapi tak keras dalam usaha mempersiapkan tatanan yang lebih baik untuk pemerintah masa depan.

Kini 3 kalimat tersebut menjelma menjadi susunan baru, sumpah yang berjawab,

Kami poetra-poetri Indonesia mengakoe bertumpah darah jang satoe,tanah air Indonesia... (dan kamilah pendemo terbaik di tanah air ini, masa bodoh yang penting protes aja)
Kami poetra-poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia... (dan kamilah pionir perusak moral bangsa, masa bodoh yang penting enaknya aja)
Kami poetra-poetri Indonesia menjoengjoeng tinggi bahasa persatuan,bahasa Indonesia.. (dan kami tak lagi bangga dengannya, masa bodoh yang penting di anggep gaul aja)
*Ditulis dengan rasa prihatin yang mendalam melihat topeng-topeng yang dipakai oleh kebanyakan pemuda bangsa. Yang seharusnya menjadi "penerus" bangsa, malahan menjadi "penggerus" bangsa.


Original Posted By Aslam El-Hasany
original picture on http://panjikrishna.blogspot.com/

5 komentar:

  1. pemuda saiki kudu disumpahi wae...

    BalasHapus
  2. Semoga yg lain pada mendengarkan! Dan Negeri ini bisa jadi sejahtera!

    BalasHapus
  3. @pak eko: thankyou pak... wkwk dah dibaca mpek slesai kan?

    @bang ciwir: hahaha... bisa aj...

    @Se7enTime : aminnn.. semoga...

    BalasHapus
  4. tak kira sumpah, ternyata sampah..hihi..
    Sudah banyak mengalami pergeseran nilai...

    BalasHapus

no sara...